Resign dari Koki, Pak Hikmat Inisiasi Usaha Sembako

Pulang ke kampung usai merantau beberapa tahun di Jakarta tidak membuat pria dua anak ini minder. Dia tidak canggung untuk memulai kehidupan baru di desa setelah beberapa tahun bekerja sebagai koki di sebuah hotel bintang lima di bilangan Senayan, Jakarta. Pak Hikmat (41 tahun) nama pria yang dimaksud.

Siang itu, udara di Kampung Cikondang, Desa Sipayung, Kabupaten Bogor cukup dingin disertai gerimis. Kami berkunjung ke rumahnya yang cukup sederhana. Posisi rumahnya berada di dalam gang, sekitar seratus meter dari jalan utama. Wajah sumringah nya terpancar saat dia menyambut kami. 
Obrolan kami mulai dari usaha sembako yang sudah dia rintis selama delapan tahun ini. Inisiasi usaha ini tidak lama setelah keluar dari pekerjaannya sebagai koki. Baginya, pulang ke kampung dan membuka usaha tidak perlu malu, toh ini kampung halaman sendiri. “Saya ingin memiliki usaha sendiri supaya lebih bebas (dibanding kerja sebagai karyawan),” imbuhnya saat ditanya kenapa berminat buka usaha ini. Dia bercerita kalau jualan sayur dan kebutuhan harian rumah tangga ini cukup menjanjikan. Barang ini saban hari dibutuhkan masyarakat sehingga tidak perlu kuatir barang ini tidak bakal laku. Dia mengaku keuntungannya terbilang lumayan. Tantangannya adalah, jelasnya lebih lanjut, harus kuat secara fisik karena harus bangun pagi-pagi sebelum subuh. Dia mengaku jam 02.30 pagi sudah ke pasar Leuwiliang dan Cigudeg untuk berbelanja. Sekitar jam 6 hingga jam 10 pagi pak Hikmat menjajakan barang dagangannya ke beberapa kampung. 

Pak Hikmat bukanlah penjual sayur dan beberapa kebutuhan harian satu-satunya di desa ini. “Ada beberapa orang yang menjual dagangan yang sama seperti saya. Jadi ada pesaingnya juga. Tapi kami berbagi tempat. Tidak boleh ada orang yang berjualan di tempat (kampung) sama. Ini kesepakatan tidak tertulis,” jelasnya.
Usaha ini dikembangkan dengan modal sendiri. Pak Hikmat tidak menunggu modal besar untuk membuka usaha. Pak Hikmat juga tidak berminat meminjam ke bank untuk menambah permodalannya. Hanya 500 ribu modal awal yang digunakan saat usaha ini dimulai. Saat itu dagangan dibawa menggunakan sepeda motor. Muatannya pun juga tidak seberapa menyesuaikan kapasitas sepeda motor.
Hingga akhirnya empat tahun berselang, pak Hikmat bergabung menjadi anggota Koperasi Pemasaran Nurani Mulya Jaya. Menurut pengakuannya, dia tertarik menjadi anggota koperasi ini karena bunganya kecil jika dibandingkan dengan bank emok (rentenir yang terdiri dari ibu-ibu yang dikenal kejam dan memaksa saat penagihan pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi) yang banyak berkeliaran di desanya. Di samping itu, Koperasi Pemasaran Nurani Mulya Jaya juga dinilai ramah. Jika sudah jatuh tempo, peminjam diberi keringanan waktu.

Terhitung sudah dua kali pak Hikmat mengakses permodalan ke Koperasi Pemasaran Nurani Mulya Jaya masing-masing 4 juta dan 10 juta. Pak Hikmat termasuk peminjam yang bisa dijadikan contoh. Dia disiplin mencicil dan tidak ada masalah selama pembayaran cicilan. Peminjaman kedua, tuturnya, sudah hampir lunas.

Kehidupan keluarga pak Hikmat mulai membaik semenjak akses permodalan ke koperasi ini. Dengan pinjaman sebesar itu, dia mampu menyediakan barang yang relatif lengkap dibandingkan sebelumnya. Otomatis, dengan kondisi seperti itu, omzet juga sangat berpengaruh. “Alhamdulillah saat ini omzet semakin bagus. Paling rendah sehari bisa dapat 2 juta. Paling banyak bisa dapat 3 juta,” terangnya dengan raut muka senang. 

Pak Hikmat kini tidak lagi berjualan keliling menggunakan motor. Dua tahun belakang ini dia sudah berjualan menggunakan mobil pick up yang menampung sayuran dan kebutuhan harian yang lebih lengkap. Dia mengakui bahwa cicilan mobil ini diambil dari hasil usaha yang dia jalani ini.

Selain untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga dan biaya pendidikan anak-anaknya, dampak lain dari usaha ini adalah saat ini pak Hikmat juga mengembangkan kebun cabe, timun dan sayuran lainnya untuk mendukung usahanya. Dengan cara ini dia tidak perlu sepenuhnya bergantung pada pasar. Pasokan sayuran bisa berasal dari kebun sendiri. Biaya-biaya bisa ditekan dan keuntungan bisa lebih besar. Dia mengatakan, “untuk kebutuhan usaha saat ini saya juga mengembangkan (menanam) cabe, timun, dan sayuran lainnya mulai dari pembibitan hingga upah orang yang mengerjakannya.” 

Dia bersyukur bisa menjadi anggota Koperasi Pemasaran Nurani Mulya Jaya. Semenjak menjadi anggota inilah usahanya mulai berkembang. Keberadaan koperasi ini mendekatkan masyarakat pada akses permodalan dan membantu masyarakat dalam mengembangkan usahanya.  


Pak Hikmat, penjual sembako keliling yang mengakses permodalan usaha ke Koperasi Nurani Mulya Jaya yang menjadi dampingan Gugah Nurani Indonesia.

Ditulis oleh: Yosfialdi
Diedit oleh: Tim FD 

Subscribe to our newsletter
for news and updates