Perempuan, Budidaya Rumput Laut, dan Kemandirian Tempat Tinggal

Kunjungan ke Kediaman Ibu Riska


Rumah ini berjarak 1,5 km dari jalan poros (begitu masyarakat lokal menyebut jalan utama). Tidak ada yang mencolok dari rumah tersebut. Tampilannya sederhana seperti kebanyakan rumah di sekitarnya. Rumahnya semi permanen. Ukurannya kurang lebih 6 m x 8 m. Terdapat 1 kamar tidur dan 1 kamar mandi. Sisanya ruang tamu. Di sekitar rumah ini juga berjejer rumah panggung. 

Setelah berkali-kali memanggil akhirnya yang punya rumah menyahut. Ada orang rupanya di dalam. Tuan rumah mempersilahkan kami untuk masuk. Terlihat tuan rumah tersenyum. Menandakan kami disambut baik. Paling tidak itu yang terbayang dalam pikiran kami. 

Rupanya, akunya kemudian, di balik senyumnya tersimpan kekhawatiran; “ada apa gerangan?”, “mau nagih apa ke saya?”, dia bertanya-tanya. Ibu Riska (24 tahun), nama tuan rumah yang menyambut kami itu.

Di dalam rumah terasa lebih panas. Plafon rumah yang belum terpasang nampaknya ikut memengaruhi. Pagi menjelang siang itu cuaca cukup terik. Kami memutuskan untuk bincang-bincang di luar. Di bale-bale bambu berukuran 2 m x 3 m itu kami duduk.

Ibu Riska adalah satu di antara petani rumput laut di desa Bontoranum. Bersama suami dia menggantungkan hidup dari budidaya rumput laut. Pekerjaan ini dia lakoni sejak berumah tangga pada tahun 2018. Awalnya tidak punya apa-apa, tidak seperti saat ini yang sudah memiliki ratusan bentangan rumput laut.

Ibu Riska bercerita kalau suaminya dulu bekerja dan menerima upah dari saudara suaminya. Bukan uang, tapi bibit rumput laut upah yang dia terima. Dari situ suaminya mulai mengembangkan rumput laut di lokasi saudaranya. Maklum, mereka belum punya lokasi budidaya rumput laut. 
 

Perkembangan Budidaya Rumput Laut


Hari makin siang. Mentari tak henti-hentinya menyinari Jeneponto. Makin terik. Sesekali angin berhembus menyapa kami. Perempuan yang tengah mengandung buah hati yang ketiganya ini masih semangat.

Pada 2022 Ibu Riska mengakses permodalan ke sebuah koperasi. Koperasi yang berkantor di pusat kecamatan itu dia dengar dari kakaknya. Kakaknyalah yang mengajak Ibu Riska menjadi anggota koperasi. Koperasi Gugah Mandiri Jeneponto, nama koperasi yang dia dengar itu merupakan koperasi binaan Yayasan Gugah Nurani Indonesia.   

Ibu Riska mengaku sudah dua kali meminjam permodalan di koperasi ini. Masing-masing sebesar 4 juta dan 8 juta. Modal pertama dia gunakan untuk beli bibit rumput laut, tali, dan lahan. Untuk beli lahan menghabiskan modal 2 juta. Rupanya zona budidaya rumput laut itu ada pemiliknya. Klaim kepemilikan secara turun-temurun. Anda tidak bisa sembarangan memasang bentangan rumput laut. Bisa ribut. 

Modal kedua dia gunakan untuk beli tali dan lahan. Untuk beli lahan memakan biaya 4 juta. Pembelian dua kali lahan ini bisa memuat 300 bentangan. Jumlah ini terbilang sedang untuk ukuran petani rumput laut.

Dari awalnya punya 50 bentangan, kini Riska memiliki 238 bentangan. Jumlah bentangan ini cukup menghidupi keluarga kecilnya. Sekali panen (per 40 hari), Ibu Riska bisa mendapatkan uang 8-9 juta. Di samping jumlah bentangannya cukup banyak, kala itu harga rumput laut sangat bersahabat. Rumput laut kering dijual 30-40 ribu per kg. Dia juga mengaku menjual bibit rumput laut. 
 

Peran Perempuan dalam Budidaya Rumput Laut










Seperti perempuan lainnya, peran Ibu Riska dalam budidaya rumput laut cukup dominan. Mulai memilih bibit, mengikat bibit, mengangkut ke perahu, hingga panen rumput laut. Tidak berhenti di situ, Ibu Riska juga membantu mengeringkan rumput laut 3-4 hari, bergantung cuaca.    

Dia menyebut kehidupan keluarganya mulai berubah sesaat setelah mengakses permodalan ke koperasi. Sebelumnya, dia tak punya lahan budidaya rumput laut. Belum punya bentangan juga. Kebutuhan harian sangat bergantung pada hasil memancing ikan oleh suaminya. Pendapatan tidak menentu. Jika cuaca buruk, suaminya tidak melaut. 
 

Dari Tidur Beralas Terpal ke Rumah Baru yang Nyaman 







Bersama suami dan anak semata wayangnya saat itu dia masih tinggal bersama mertuanya. Di sebuah rumah yang sangat sederhana. “Awalnya kami tinggal di kolong rumah mertua. Di sana kami tinggal selama 5 tahun. Lantainya tanah beralaskan terpal,” ungkapnya ke kami. 

Sesekali anak bungsunya merengek saat kami tengah berbincang. Mungkin ingin diperhatikan di saat ibunya melayani tamu-tamunya. Ibu Riska memberikan gawai berharap anaknya tidak rewel. Usahany berhasil. Si bungsu pun menjauh dan bermain gawai sendiri.

Kurang lebih setahun sejak peminjaman pertama Ibu Riska membeli sebidang tanah seharga 10 juta. Seratus meter dari rumah mertuanya. Dia bercita-cita suatu saat bisa membangun rumah. Bersama suami dan anak-anak tinggal bersama. Tidak lagi bersama mertua. Tidak lagi tidur di atas tanah beralas terpal. Tidak lagi dipandang sebelah mata oleh tetangganya.

Keinginan besarnya untuk punya rumah sendiri terwujud. Budidaya rumput laut dan permodalan dari Koperasi Gugah Mandiri Jeneponto mewujudkannya punya rumah sendiri. Tetangga pun tidak lagi memandang sebelah mata. Sudah setahun lebih dia merasakan rumah barunya. Total 50 juta Riska mengeluarkan uang untuk punya rumah sendiri. 

Ah! Rupanya rumah yang kami singgahi ini hasil jerih payah mereka sendiri. Ibu Riska dan suaminya berhasil menjadi pahlawan untuk anak-anaknya melalui usaha budidaya rumput laut, mereka berhasil meningkatkan  kualitas hidup keluarganya. 

Baca juga:
Bantuan Psikososial Anak Pasca Gempa Kabupaten Bandung 
Impian Pak Winarto: Lebih dari Sekedar Angkringan 

Ditulis oleh: Yosfialdi
Diedit oleh: Tim FD

Dapatkan banyak keuntungan

Contact us on WhatsApp