Mobil CDP Borong yang kami kendarai, melaju di atas aspal basah, yang diguyur hujan sejak sore hari. Berhubung jarak desa yang kami datangi lumayan jauh, dibutuhkan waktu sekitar 30 menit agar dapat sampai di desa tersebut. Saat menjelang malam, kami pun tiba di desa yang menjadi tujuan kami.
Setibanya kami di tempat tujuan, hujan masih turun membasahi bumi. Kemudian tampak salah seorang warga datang menghampiri kami dengan membawa payung. Orang tersebut ternyata merupakan ketua Income Generation Group (IGG) yang akan kami temui, dan kami pun satu persatu dijemput dari mobil.
Rencananya selain bertemu dengan ketua anggota IGG, kami juga ingin bertemu dengan seluruh anggota IGG yang terdiri dari 10 orang. Namun, karena yang datang baru ketua dan 2 orang anggotanya, kami mengambil kesempatan untuk mewawancara ketua IGG tersebut terlebih dahulu.
Nama IGG yang kami temui di Gurung Liwut tersebut adalah IGG Wela Nendong yang dalam Bahasa Manggarai berarti “bunga harum”. IGG ini terbentuk pada tahun 2009 atas inisiasi 20 orang warga sesama petani. Di sini mereka memiliki lahan pertanian yang dikelola bersama, dan hasil dari pertanian tersebut dikumpulkan dalam bentuk tabungan kelompok.
Hingga Suatu saat ada 3 orang anggota yang melakukan pinjaman dengan total sejumlah Rp1.800.000 dengan maksud untuk pengembangan dana di kelompok. Namun, uang tersebut tidak pernah dikembalikan ke bendahara kelompok.
Di samping itu, keberadaan 2 orang anggota yang meminjam tersebut tidak diketahui ada dimana karena telah pindah rumah ke desa lain, dan satu orang anggota lagi meninggal dunia sehingga dilakukan pemutihan atas pinjamannya. Situasi tersebut akhirnya membuat seluruh anggota sepakat untuk membubarkan IGG Wela Nendong tersebut.
Awal Kebangkitan Kembali
Pada tahun 2023, GNI menawarkan pemberian bibit sayuran untuk para petani yang ingin mengelola lahannya menjadi pertanian hortikultura. Mendengar penawaran tersebut, kelompok Wela Nendong yang sempat bubar, pengurusnya kembali memiliki keinginan untuk merekrut anggota-anggota lama yang masih mau bergabung, dan terkumpullah 11 orang yang terdiri dari 9 orang perempuan dan 2 orang laki-laki.Mereka pun mengganti nama IGG menjadi Kelompok Melati. Namun kedepannya disarankan agar IGG ini kembali ke nama awal, yaitu Wela Nendong karena telah memiliki akte pendirian sesuai dengan nama Wela Nendong. Hal ini ditujukan untuk lebih mempermudah dalam mengurus hal-hal yang membutuhkan pendokumentasian.
Setelah mendapatkan bibit dari GNI, mereka melakukan pembersihan lahan, pengolahan tanah dan penanaman bibit sayuran pada lahan sawah kosong yang tidak dimanfaatkan karena debit air kurang, milik salah seorang anggota seluas 0,25 hektar. Mereka lebih memilih menanam sayuran, karena kebutuhan akan air tidak sebanyak jika menanam padi.
Ada kesepakatan yang diberlakukan oleh IGG tersebut, yaitu seluruh anggotanya jika ingin membeli sayuran wajib membeli dari hasil panen di lahan yang mereka kelola. Hal ini dimaksudkan agar ada uang yang terkumpul di kelompok.
Pada saat panen pertama mereka berhasil memperoleh keuntungan sejumlah Rp120.000 dari hasil pertanian tomat, sawi, kangkung, wortel dan cabai. Kemudian uang tersebut sejumlah Rp20.000 disimpan dalam kas dan yang sejumlah Rp100.000 dipinjamkan secara bergulir ke anggota dengan tenor selama 2 minggu dan bunga sebesar Rp10.000, dengan demikian setiap 2 minggu kelompok mendapatkan tambahan uang sejumlah Rp10.000.
Hingga wawancara kami lakukan, mereka telah berhasil mengumpulkan uang kas sejumlah Rp175.000, dan dapat dipastikan akan terus bertambah karena belum semua anggota mendapatkan giliran pinjaman. Selain itu, seluruh anggota IGG Wela Nendong juga sudah terdaftar sebagai anggota koperasi Legejur Lingko Mandiri atas nama kelompok pada tahun 2024 ini, dan sedang menunggu giliran untuk mendapatkan pinjaman dari koperasi.
Merubah Usaha dari Kegagalan
Seiring dengan berjalannya waktu, usaha pertanian sayuran yang mereka jalankan sempat beberapa kali mengalami gagal panen karena kondisi kemarau yang ekstrim, sehingga mengalami kekeringan dan sulit untuk mendapatkan air.
Di samping itu, juga para anggota mengalami kesulitan untuk membeli beras dan beberapa kebutuhan rumah tangga lainnya. Dimana untuk membeli 1 – 2 kilogram beras saja mereka harus keluar desa yang ongkosnya lebih mahal dari harga beras tersebut.
Berdasarkan dari pengalaman gagal panen dan sulitnya mendapat akses membeli kebutuhan rumah tangga, tercetuslah ide untuk membentuk sebuah usaha baru, yaitu warung sembako. Kebetulan saat itu juga ada program dukungan anggaran bagi IGG di sektor ekonomi senilai Rp9,500,000 untuk bantuan permodalan dalam membuka usaha kelompok. Bagai gayung bersambut, mereka pun segera mengajukan permohonan ke GNI melalui CDP Borong, dan berhasil mendapatkannya.
Untungnya ketua kelompok Melati tersebut memiliki lahan kosong yang bisa dijadikan sebagai tempat penjualan sembako, sehingga anggaran yang mereka peroleh dapat digunakan sepenuhnya untuk menyediakan barang-barang yang akan dijual.
Sedangkan untuk bangunan warung sembako, mereka melakukan sistem swadaya dari seluruh anggota kelompok, mulai dari kayu, triplek, semen, dan seng. Bahkan, para anggota kelompok yang mendirikan bangunan warung sembako, dibantu oleh suami-suami dari anggota perempuan.
Ternyata usaha sembako yang mereka bangun ini sangat menjanjikan, bahkan hanya dalam waktu 3 bulan berjalan mereka berhasil memperoleh omset hingga Rp25,000,000. Keberhasilan ini terjadi karena strategi yang mereka lakukan tepat sasaran dan sangat mendukung dalam mendongkrak masuknya penghasilan.
Adapun strategi yang mereka lakukan di antaranya dengan melobi warga yang akan mengadakan pesta, baik pesta kelahiran maupun pernikahan. Dimana warga yang akan mengadakan pesta tersebut memesan dan membeli semua kebutuhan pesta dari warung sembako yang mereka Kelola.
Sedangkan untuk pembayaran dapat dilakukan saat pesta telah selesai. Di samping itu, seluruh anggota dan keluarganya diwajibkan membeli segala kebutuhan pokok rumah tangga mereka di warung sembako tersebut.
Ada yang menarik pada kelompok usaha ini, yaitu mereka memiliki pencatatan kas yang sangat lengkap dan rapi meskipun dibuat dalam bentuk manual. Catatan tersebut bukan saja untuk alur kas warung sembako, tetapi ada juga untuk catatan alur kas pertanian. Dari pengakuan mereka, bahwa dalam membuat catatan tersebut mereka belajar secara otodidak.
Menikmati Hasil Usaha
Meskipun usaha sembako yang mereka jalani telah menunjukkan hasil yang menguntungkan, usaha pertanian sayuran tidak serta merta mereka tinggalkan. Dengan uang yang mereka dapat, mereka dapat membenahi pertanian sayuran yang merupakan awal usaha mereka kearah yang lebih baik lagi, sehingga dapat kembali menghasilkan.Oleh sebab itu, dari hasil yang diperoleh lewat usaha sembako mereka dapat membeli air untuk kebutuhan pertanian sayuran di saat musim kekeringan. Sehingga, saat ini anggota IGG Wela Nendong memiliki dua sumber penghasilan, tetapi yang menjadi penghasilan utama mereka adalah usaha warung sembako.
Sebelum kami mengakhiri wawancara malam itu, para anggota IGG Wela Nendong dengan wajah sedih dan suara sendu yang terbata-bata, sempat bercerita betapa sulitnya kehidupan mereka sebelum memiliki usaha. Bahkan, banyak dari mereka yang terjerat pinjaman dari para rentenir yang menerapkan bunga tinggi dan cicilan secara harian dan mingguan. Namun, karena keadaan ekonomi mereka yang sangat berkekurangan, membuat mereka terpaksa meminjam agar dapat memenuhi minimal untuk kebutuhan sehari-hari.
Setelah itu mereka harus membanting tulang mencari uang untuk membayar cicilan pada rentenir. Belum lagi mereka harus tetap membiayai kebutuhan sekolah anak-anak mereka agar jangan sampai putus sekolah.
Kondisi ekonomi mereka semakin sulit karena ditambah dengan himpitan ekonomi dari budaya Manggarai, yang mewajibkan pemberian uang adat yang jumlahnya terbilang tinggi untuk ukuran mereka yang saat itu memiliki keadaan ekonomi yang serba kekurangan.
Hingga akhirnya mereka berhasil memiliki usaha yang dapat menjadi sumber penghasilan keluarga. Dari hasil usaha tersebut tentunya dapat membantu meningkatkan kesejahteraan anggotanya, seperti kebutuhan keluarga sehari-hari terpenuhi, dapat membayar biaya sekolah anak, membayar biaya perobatan saat ada keluarga yang sakit, memiliki tabungan pribadi dan membayar uang adat yang jumlahnya tidak sedikit.
Dimana dalam waktu satu bulan mereka dapat membayar 5 hingga 7 kali uang adat, seperti acara lahiran, lamaran, pertunangan, pernikahan, kematian dan acara-acara adat keagamaan. Dan meskipun mereka telah bergabung menjadi anggota koperasi LLM dan belum mendapatkan pinjaman, namun dari hasil usaha yang mereka bangun, mereka juga dapat terlepas dari jeratan para rentenir.
Baca Juga:
Koperasi GMJ (Gugah Mandiri Jeneponto) Menyulap Hobi Jadi Cuan
Peringati Hari Anak Nasional bersama GNI dan PAUD Charitas Desa Tengku
Ditulis oleh: Sumedi Parulian
Diedit oleh: Tim FD