Anak Didikan Yayasan Gugah Nurani Indonesia Semangat Menggapai Mimpi

Mengubah mental yang remuk untuk kembali semangat tidak mudah. Namun, tidak demikian anak-anak yang diasuh Yayasan Gugah Nurani Indonesia (GNI). Mereka jatuh dan kembali bangkit demi masa depan yang lebih cerah.

FAJAR ANUGRAH TUMANGGOR, Surabaya

DESI Puspitasari terlihat seperti remaja kebanyakan. Dia ceria dan semangat saat menjalani pemeriksaan kesehatan yang diadakan Yayasan GNI di Puskesmas Pembantu Wonokusumo, Semampir, pada Sabtu (21/9). Tidak ada yang menyangka bahwa Desi pernah mengalami masa kelam.

Kisah itu bermula pada medio 2018. Saat itu Desi baru saja menerima rapor semester genap kelas VIII dari salah satu sekolah di Kenjeran. Dia naik dan menunggu masuk kelas IX. ’’Saat menunggu itu, terlintas di pikiran untuk tidak bersekolah lagi,” ungkap perempuan kelahiran 2004 tersebut. Apa alasannya? ’’Di sekolah saya banyak anak nakal. Saya jadi terpengaruh,” ungkapnya.

Sang ayah, Djunaidi, mengiyakan kemauan Desi ’’Bapak juga mau ajak saya ke Madura. Jadi, saya pun putus sekolah,” ungkap Desi. Selama delapan bulan tinggal di Madura, Desi tak banyak beraktivitas. ’’Saya hanya bermalas-malasan. Tidur, makan, dan bantu ibu. Begitu seterusnya,” kata perempuan 14 tahun tersebut.

Sampai suatu masa, Desi disadarkan dari pilihan keliru itu. Semua dimulai ketika ibunya, Farida, sakit parah. Belum lagi, bapaknya mengalami masalah dengan kantornya. ’’Jadi, bapak tidak bekerja selama empat bulan,” ungkap Desi. Situasi makin pelik saat uang sang ayah menipis karena sudah tidak berpenghasilan. ’’Saya mulai tersadar di situ,” jelasnya.

Hatinya makin tertusuk saat keluar rumah dan melihat pemulung, gelandangan, serta pedagang yang harus membunuh dinginnya malam untuk mencari sesuap nasi. ’’Saya pulang. Masuk kamar dan menangis. Saya tak mau seperti itu. Saya ingin mengubah hidup keluarga,” paparnya. Itu adalah titik baliknya.

Pada Mei, muncul keinginan untuk bersekolah. Dia menyampaikan niat tersebut kepada sang ayah. Namun, jawaban pesimistis dia dapatkan. ’’Mimpi apa kamu mau sekolah lagi?” ungkap Desi yang menirukan perkataan sang ayah. Tapi, keinginan itu sudah bulat. ’’Saya ingin sukses, Pak,” ungkapnya. Ayahnya akhirnya setuju. Pada Juni, Desi kembali menempuh pendidikan di salah satu sekolah menengah pertama swasta di Semampir. ’’Saya ngulang dari kelas VIII,” ujar Desi, lantas tertawa.

Desi kemudian kenal dengan GNI dan menjadi anak asuh mereka. ’’Banyak hal yang berubah,” ungkap Desi. Dulu jarang menulis catatan dan membaca, kini setiap hari minimal satu jam dia sempatkan berliterasi. ’’Saya juga sudah tidak canggung lagi maju saat di kelas untuk menjawab soal matematika. Intinya, saya makin berani,” tuturnya. Motivasi terbesarnya, kata dia, mengubah nasib keluarga.

’’Sama seperti saya juga. Kondisi keluarga susah,” ungkap Ricky Renaldi. Pria yang sudah menjadi anggota GNI selama sembilan tahun itu mengatakan, semangatnya untuk menggapai mimpi semakin tinggi. Meski, banyak jalan terjal yang dihadapi. ’’Saya sempat jatuh bangun. Terutama ketika dicibir siswa lain dan bapak sendiri saat berjualan,” kata pria yang bersekolah di salah satu SMK swasta di Semampir tersebut.

Dia berjualan sejak SMP. Bersepeda sambil membawa seabrek keripik dan gorengan. Banyak siswa lain yang memandangnya rendah. Begitu juga sang bapak, mendiang Sulaiman Sudarmanto. ”Ayah pikir saya ini bohong jualan karena sering pulang malam,” kenangnya. Tapi, Ricky tidak gentar. Dia terus berjualan sambil bersekolah. Dalam sehari, anak keempat di antara empat bersaudara itu meraup keuntungan bersih Rp 125 ribu dari dagangannya. Pihak sekolah pun melihat kesungguhan siswa kelas XII tersebut. Mereka lantas menyiapkan lapak yang diberi nama Kopsis (Koperasi Siswa).

Siswa lain diajak bergabung. Mereka menjual aneka rupa dagangan. Mulai makanan, minuman, hingga peralatan sekolah. ’’Ini juga untuk meyakinkan ayah bahwa anaknya bisa,” ungkap Ricky. Tetapi, pria yang juga menjadi sekretaris OSIS itu tetap tak mendapat dukungan dari sang ayah.

Pada Desember 2018, semua yang Ricky lakukan seakan percuma. Ayahnya dipanggil Yang Mahakuasa setelah sakit. Rasa sesal memuncak dalam dirinya. ’’Saya lupa. Ayah butuh didengarkan anaknya. Bukan memiliki segudang materi,” ungkap Ricky mengenang momen itu.

Menurut Ricky, menggapai cita-cita memang tidak ada salahnya. Tapi, mendengarkan orang tua juga penting. ’’Kini saya tinggal punya ibu. Harus saya banggakan,” ungkap anak Lidya Ranta Yusindah Wahyuni itu.

Manajer Yayasan GNI Cicik Sri Rejeki memaparkan, cerita anak-anak yang mereka asuh juga menjadi pelajaran bagi para pendamping di GNI. ”Kita harus terus mengasah mental dan daya juang mereka. Tiap-tiap anak berbeda,” katanya.

Menurut dia, tak banyak anak yang memiliki mental baja setelah terpuruk. Dari 500-an anak yang tergabung di GNI, paling 5 persen saja yang begitu. ’’Ini akan terus kami tingkatkan. Untuk nasib mereka, kini dan nanti,” kata Cicik, lantas tersenyum.

Editor : Dhimas Ginanjar

Reporter : */c7/tia

Sumber: https://www.jawapos.com/features/03/10/2019/anak-didikan-yayasan-gugah-nurani-indonesia-semangat-menggapai-mimpi/

Subscribe to our newsletter
for news and updates